"PRIMA DALAM PELAYANAN, PRIMA DALAM PENAMPILAN DAN PRIMA DALAM PRESTASI" Pusat Informasi Dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) SMA N 2 WONOSARI YOGJAKARTA: Perempuan dan HIV-AIDS

Kamis, 18 Februari 2010

Perempuan dan HIV-AIDS

Oleh Siti Fathimatuz Zahroh
[Pemerhati Gender, Alumnus Poltekes Negeri Yogyakarta]

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pembukaan Konferensi Internasional AIDS Asia Pasifik ke IX di Bali (9-13 Agustus 2009), menyatakan bahwa epidemi global HIV-AIDS merupakan salah satu tantangan abad ini selain terorisme dan perubahan iklim. Jika tidak segera ditanggulangi, kata SBY, AIDS akan menyebabkan hilangnya satu generasi mendatang.
Di Indonesia, sejak ditemukan pertama kalinya 1987 di Bali, jumlah kasus HIV-AIDS meningkat cepat. Data yang dilansir Departemen Kesehatan menunjukkan hingga 31 Desember 2008, secara kumulatif terdapat 16.110 kasus yang diperoleh dari laporan 32 provinsi dan 214 kabupaten/kota. Sementara menurut data terbaru Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPMPL) kasus HIV-AIDS telah mencapai 26.632, atau meningkat tiga kali selama tiga tahun terakhir. Uniknya, hampir separuh lebih (57 persen) penyakit itu diderita kaum perempuan.
Situasi ini tentunya sangat memprihatinkan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa kaum perempuan yang lebih banyak terserang HIV-AIDS? Langkah apa saja yang sebaiknya dilakukan pemerintah guna menekan laju penularan penyakit itu?

Pandangan Keliru
Memang pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Tetapi persoalan HIV-AIDS belum menduduki prioritas baik di kalangan eksekutif, legislatif, maupun masyarakat.
Di sisi lain, dalam masyarakat kita telah berkembang cara pandang yang kenyataanya tidak menjadi solusi untuk mencegah ancaman HIV dan AIDS, bahkan sebaliknya cenderung memperburuk masalah. Pertama, adanya pandangan yang menempatkan HIV-AIDS hanya masalah mereka yang berperilaku seks menyimpang atau terkait “tidak bermoral”, “pendosa”, dan sebagainya.
Kedua, pandangan tentang ibu rumah tangga atau perempuan “baik-baik” tidak akan tertular HIV-AIDS, ditambah kuatnya resistensi terhadap kampanye penggunaan kondom, serta pandangan bahwa KB hanya urusan perempuan, turut menyumbang kompleksnya penanggulangan HIV-AIDS. Dan ketiga, ketidakadilan gender yang dialami perempuan, mengakibatkan mereka dianggap tidak perlu mengetahui hak-hak, termasuk seksualitas dan kesehatan reproduksi, serta kerentanan terhadap HIV-AIDS.
Menurut Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI, 2008), perempuan terserang HIV-AIDS kebanyakan tidak mengetahui hak-haknya sehingga mereka tidak mendapat kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak; termasuk pelayanan kesehatan untuk diri sendiri dan anak mereka. Selain itu, mereka juga tidak mengetahui informasi tepat mengenai kesehatan perempuan, termasuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, serta tidak mempunyai pekerjaan layak yang dapat menjamin kehidupan, termasuk bagi anak-anak mereka.
Bagi remaja perempuan, persoalan HIV-AIDS lebih rumit lagi. Selain rentan terinfeksi, mereka juga menghadapi tekanan dari teman sebaya untuk melakukan hubungan seksual dini, kekerasan dan eksploitasi seksual yang disebabkan kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis. Mereka yang mengalami kekerasan seksual itu, umumnya akan kehilangan harga diri dan perasaan kendali atas kehidupan, sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan NAPZA, hubungan seksual lebih dini, dan berganti-ganti pasangan.

Langkah Kongkrit
Tampaknya, persoalan penyakit HIV-AIDS bukan sudah sangat memprihatinkan. Maka, upaya penanggulangan penyakit itu bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata. Tetapi, semua pihak harus menyadari bahwa penyakit itu merupakan persoalan bangsa yang harus diselesaikan secara bersama-sama, holistik, dan berkesinambungan. Singkatnya, segenap elemen bangsa harus bersatu-padu dan menjadikan penyakit itu sebagai musuh bersama.
Perspektif gender perlu diintegrasikan atau harus diutamakan dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS. Hal ini meliputi aspek pemberdayaan perempuan, di mana perempuan diberdayakan untuk mengetahui hak dan informasi mengenai kesehatan perempuan termasuk pencegahan penularan HIV-AIDS dari ibu ke anak, sehingga mendapat kesempatan untuk pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak, agar dapat memperkuat ketahanan keluarga.
Karena penanggulangan HIV-AIDS begitu kompleks, maka diperlukan upaya dan kerja sama lintas dimensi dan sektor. Oleh karena itu membatasi HIV-AIDS sebagai masalah kesehatan semata, merupakan langkah yang kurang strategis.
Secara kongkrit, pemerintah sebagai pemegang kebijakan (policy maker), harus mengambil tindakan secara intensif melalui strategi nasional yang melibatkan para stakeholder dan masyarakat sampai tingkat desa. Selain itu Peraturan daerah yang lebih bersifat lokal diperlukan guna menjawab kebutuhan praktis dan strategis masyarakat; menjamin adanya program dan anggaran yang tepat kelompok sasaran, dan memastikan pencegahan/penanggulangan HIV-AIDS di daerah sudah/belum dirasakan oleh masyarakat.
Pemerintah juga perlu melakukan langkah-langkah urgen seperti: Pertama, memberikan penyuluhan kesehatan bagi masyarakat yang bisa dilakukan melalui sekolah, forum-forum kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Penyuluhan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang meyakinkan mengenai bahaya yang ditimbulkan HIV-AIDS. Singkatnya, melalui penyuluhan itu para pelajar dan pemuda pada umumnya, dibekali ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara menghindari, atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko terkena HIV-AIDS.
Kedua, memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang. Misalnya dengan menyediakan fasilitas konseling dan testing HIV dimana identitas penderita dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta menyediakan tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Ini tentunya memerlukan kerjasama dengan semua pihak, baik dengan instansi pemerintah sendiri maupun instansi milik swasta.
Ketiga, sejak awal kehamilan kaum wanita disarankan untuk melakukan tes HIV, sebagai kegiatan rutin dari standart perawatan kehamilan. Jika hendak melakukan transfusi darah, dokter harus melihat kondisi pasien dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi atau tidak. Langkah-langkah sebagaimana disebutkan, harus segera direalisasikan. Harapannya, tidak semakin banyak kaum perempuan menjadi korban keganasan HIV-AIDS. Semoga.[]

0 Comments: